Sabtu, 03 Oktober 2009

Aktivitas ritmik

Aktivitas Ritmik (Bagian I)

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan sebagai salah satu mata pelajaran yang harus dilaksanakan di sekolah, berkembang mengikuti dan sesuai dengan kurikulum pendidikan yang dikembangkan di Indonesia.

BAB I
PENGANTAR

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan sebagai salah satu mata pelajaran yang harus dilaksanakan di sekolah, berkembang mengikuti dan sesuai dengan kurikulum pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Pengembangan kurikulum yang secara umum “katanya“ disesuaikan dengan perkembangan jaman dan melalui riset yang mendalam, membawa konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan yang tidak hanya sekedar pada perubahan nama, melainkan juga pada tatanan kurikulum serta perangkat dan isi yang terkandung di dalamnya.

Perubahan nama pada setiap mata pelajaran termasuk di dalamnya “pendidikan jasmani” “pendidikan gerak” “gerak badan” “pendidikan olahraga” “olahraga pendidikan” “pendidikan olahraga dan kesehatan” “pendidikan jasmani dan olahraga” “pendidikan jasmani dan kesehatan” “pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan” atau apalah namanya, tentu berimplikasi pada perubahan substansi yang akan disajikan. Perihal yang seperti inilah yang terkadang terlewatkan, karena nyatanya perubahan nama mata pelajaran terutama pendidikan jasmani sering kali tidak terlebih dahulu menilik dan mendasarkan pada azas dan falsafah ilmu yang melandasinya. Jika kita berbicara mengenai mata pelajaran ini, maka dasar landasannya adalah ilmu keolahragaan yang salah satu mata kajiannya adalah “sosiokinetika” atau yang diartikan secara harfiah sebagai pendidikan jasmani (pohon ilmu keolahragaan, sebagai ilmu mandiri). Belum lagi berbicara mengenai potensi pendidik yang dimiliki negeri ini, yang menyangkut modal dasar yang diperoleh oleh calon guru pendidikan jasmani ketika menempuh pendidikan keguruan, serta sekian banyak sub sistem bagi terselenggarakannya pendidikan jasmani di sekolah secara ideal.

Kebijakan pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi yang dalam pelaksanaannya dapat disusun dan dikembangkan pada tingkat satuan pendidikan (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)), mata pelajaran pendidikan jasmani dengan pembatasan enam ruang lingkup pendidikan gerak dan satu pendidikan kesehatan, merupakan bukti betapa perubahan (mata pelajaran pendidikan jasmani) tidak memperhatikan keterbatasan potensi yang dimiliki oleh guru mata pelajaran ini di Indonesia. Salah satu contoh nyata adalah ketidakmungkinan seorang guru pendidkan jasmani memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai penanggulangan bencana alam, kebakaran, HIV – Aids, hingga perilaku seks bebas pada remaja. Walaupun dengan alasan, bahwa tidak semua kompetensi dasar yang dituliskan harus dipenuhi, dan seiring berjalannya waktu, bagi guru diberikan “in service training” untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya, tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah “seberapa banyak dan cepat guru mampu memahami hal ini (memilih kompetensi dasar), dan seberapa banyak guru yang mendapat kesempatan untuk itu (pendidikan dan pelatihan dalam in service training)?”

Sebagai bagian dari pihak yang harus turut bertanggung jawab dalam meningkatkan kompetensi dan kualitas profesionalisme guru pendidikan jasmani di tanah air, penulis menyampaikan permasalahan di atas sebagai otokritik, sehingga semua pihak menyadari kenyataan yang ada, dan akhirnya berusaha bersama untuk mencari pemecahan masalah, atau paling tidak mengurangi permasalahan dan mencegah timbulnya permasalahan baru.

Kehadiran tulisan dalam bentuk cerita yang disajikan secara ringan ini, dimaksudkan untuk memberikan tambahan sumber informasi bagi guru terutama, serta siapapun yang memerlukannya tanpa harus merasa “digurui”, sehingga setidaknya dapat memenuhi keinginan untuk mengurangi permasalahan yang harus dihadapi oleh guru pendidikan jasmani atau pihak-pihak terkait lainnya.

Buku ini membahas tentang berbagai hal yang berhubungan dengan senam aerobik sebagai salah satu sub ruang lingkup aktivitas ritmik dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, dalam KTSP, serta senam aerobik secara umum yang dapat dilakukan oleh siapapun. Bagian-bagian dalam buku ini terdiri dari cerita ringan mengenai masuknya senam aerobik sebagai salah satu aktivitas ritmik dalam mata pelajaran, apa dan bagaimana melakukan senam aerobik, bagaimana menyelengggarakan pembelajaran dan pelatihan senam aerobik, serta bagaimana melakukan penilaian senam aerobik baik dalam pembelajaran, pelatihan, maupun perlombaan.


I
Kate siape? Kate siape doooonk!

“Selamat pagi!” suara Pak Umar yang pagi itu raut mukanya tampak cerah ceria laksana penjudi yang habis menang lotre terdengar mengawali pembicaraan dengan Pak Bakri. “Pagi Pak!”, Sahut guru setengah baya yang sudah 6 tahun ini mengajar “olahraga” berlebel PNS, di SMP Negeri Pucanganom, sekolah di tengah sawah di sebuah kecamatan yang tidak terlalu terpencil di tanah air yang sebelah baratnya berbatasan langsung dengan pagar kuburan “winingit” sebagaimana yang dipercaya oleh orang-orang kampung setempat.
“Piye (bagaimana) Pak?” tanya Pak Bakri.
“Apane sing piye?” Pak Umar balik bertanya.
“Loh, panjenengan rak habis nderek sosialisasi KTSP di MGMP toh, mbok ya cerita, idhep-idhep pengimbasan dengan rekan sejawat gitu loh!” tegas Pak Bakri.
“Ooo..., masalah itu, makin lama jadi guru rasanya kok makin susah!” keluh Pak Umar yang umurnya baru sekitar empat puluhan dan baru serius mengajar di sekolah selama kurang lebih sepuluh tahun, tapi merasa sudah tua dan lama sekali menjalankan profesi sebagai pengajar. Perlu diketahui bahwa Pak Umar beberapa tahun setelah tamat dari Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, jurusan POR tidak langsung mengajar, tetapi lebih sering tarkam bolavoli dan sesekali menjadi pelatih PORDA di kabupatennya, memulai cerita.
“Loh kok gitu?” sergah Pak Bakri, “Iya, lha wong beberapa bulan lalu kita baru mau coba serius ngembangin kurikulum KBK, lha kok tiba-tiba kita harus ganti kurikulum KTSP. Masih lebih baik ada pameo setiap ganti menteri, ganti kurikulum, lha ini belum sempet ganti tas yang isinya dokumen KBK, eh.... nongol KTSP.” lanjut Pak Umar dengan cassing mukanya yang setipe dengan hape keluaran tahun sembilan puluhan. “Biasanya kritis Pak?” tanya Pak Bakri, “panjenengan kan biasanya langsung protes kalau ada hal yang ngga cocok?”
“Iya!” jawab Pak Umar yang merasa mendapat angin untuk show of apa yang dia sudah lakukan. “Terus jawab Pak instrukturnya?” kejar Pak Bakri yang kalau penasaran lama-lama mirip petugas sensus yang dikejar target laporan.
“Beliau sich jawabannya diplomatis, katanya ganti kurikulum bukan urusan ganti menteri atau pejabat, bukan urusan proyek-proyekan karena pejabat dan instansi terkait pasti punya banyak kegiatan ketika ada “barang” baru yang harus disusun dan disosialisasikan, lalu dimonitor dan dievaluasi, bukan juga karena alasan konsultan baru “lokal” yang alumni universitas terkenal di luar negeri yang mau membawa perubahan sesuai dengan seleranya, melainkan semata-mata karena pertimbangan kebutuhan yang sesuai dengan kemajuan jaman yang semakin mengglobal dan menggombal, dan didasarkan pada research para ahli kurikulum di negeri ini.” Dan jangan lupa juga loh, Pak instruktur dari lembaga yang memiliki otoritas tertinggi menangani kurikulum di negeri ini juga menyertakan data-data index apa.... gitu yang saya juga ngga hafal namanya. Tetapi intinya bangsa kita ini sudah jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga lain, bahkan dengan Malaysia sekalipun, yang satu atau dua dekade lalu masih impor guru dari negara kita.” Cerita Pak Umar yang tidak kalah diplomatis dibanding instruktur yang dia ceritakan.
“Terus panjenengan percaya gitu aja, ngga nanya kenapa musti berubah nama kalau intinya ngga jauh beda? Toh di lapangan yang kita laksanakan juga sama aja kaya kurikulum sebelumnya. Sudah sesuai atau belum dengan tingkat perkembangan motorik anak kalau memang didasarkan pada research, bagaimana dengan kemampuan kita sendiri sebagai guru yang merasa tidak mendapatkan sesuatu yang harus kita ajarkan selama kita kuliah.” Pak Bakri coba mengejar.

Pergantian kurikulum didasarkan pada penelitian berbagai aspek yang mempengaruhi.
Perubahan diperlukan sebagai pemenuhan kebutuhan relevansi atas tantangan jaman yang terus berkembang secara pesat, kompleks, dan jauh meninggalkan kualitas bangsa kita.

“Sama bagaimana to Pak? KTSP ini jelas beda, wong kita bersama sekolah diberi kesempatan mengembangkan materi, indikator, kegiatan pembelajaran, sampai ke sistem penilaian dan pemilihan sumber kok, bahkan kita berhak memilih kompetensi dasar yang akan kita tuntaskan terlebih dahulu, dan adanya kelonggaran terhadap berbagai lingkup yang bertanda bintang (dalam standar isi) untuk dilaksanakan di semester ganjil atau genap, bahkan bisa tidak kita laksanakan karena pertimbangan kelengkapan fasilitas dan kebutuhan. Kalau sekolah kita sendiri belum bisa mengembangkan kita bisa minta bantuan dari sekolah lain, atau ke dinas pendidikan dech!” jelas Pak Umar tanpa putus layaknya juru kampanye partai yang sebentar lagi mau pemilihan parlemen. “Lagian kalau saya mau protes dan kebanyakan bertanya, rasanya ngga enak Pak. Guru kan tatarannya pelaksana kebijakan bukan penyusun, kritikus, atau bahkan penentu kebijakan.”

Perhatikan tanda (*, **, ***) pada setiap akhir penulisan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada standar isi permendiknas no. 22 tahun 2005, serta perhatikan dan cermati keterangannya.

“Loh Pak, katanya kalau di kegiatan sosialisasi “kesadaran politis” kita juga dibangkitkan Pak? Biar jadi guru itu kritis dan ngga manut grubyuk (ikut-ikutan) gitu....” kali ini nada Pak Bakri agak sinis karena dia tahu betul kebiasaan Pak Umar yang rasa keingintahuannya melebihi tokoh Chelsea pada sinetron para pencari Tuhan garapan Dedy Mizwar yang ditayangkan di bulan puasa lalu. “Lagian kalau betul seperti yang Pak Umar jelaskan tadi, apa yang bikin tambah susah jadi guru? Kalau saya pikir......., ternyata komitmen kita untuk secara sungguh-sungguh melaksankan standar profesi kita yang membuat kita merasa kesulitan. Sebenarnya kan kita sebagai guru “olahraga” memang dipersiapkan untuk melaksanakan pembelajaran seperti yang diharapkan pada kurikulum yang sekarang ini kan? Saking aja kita suka ngga pede, walaupun kita sadar sepenuhnya memang masih banyak kekurangan, dan karena itulah kita memilih untuk menjadi guru biar setiap saat mau belajar dan belajar terus.” kali ini Pak Bakri yag seolah-olah menjadi instruktur sosialisasi.
“Gimana kita bisa pede?...., kita ini, bahkan teman-teman kita “orang penjas” yang kerja di berbagai instansi kependidikan sering kali “dimatikan” oleh pihak-pihak tertentu yang sebenarnya ngga paham penjas tetapi punya kekuasaan. Istilahnya, ya.... kita ini jadi “mati sebelum mati”,” kilah Pak Umar.
“Saya sebenarnya setuju Pak, apa yang telah kita lakukan ya itulah yang dimaui kurikulum. Tapi, sepulang dari kegiatan kemarin saya berusaha buka kembali dokumen, ternyata setelah saya itung-itung, saya sepertinya baru bisa melaksanakan kompetensi dasar yang ada pada lingkup olahraga dan permainan meliputi atletik, bola besar, bola kecil, beladiri itupun fifty-fifty, lingkup uji diri baru yang sangat dasar, tapi untuk aktivitas air kita ngga punya sarana walaupun bisa, aktivitas pengembangan ok, sisanya aktivitas ritmik dan pendidikan luar kelas rasanya saya tidak cukup mampu karena memang pembekalan untuk kita kurang, apalagi kesehatan rasanya itu bukan kerjaan guru, dan bukan saja pekerjaan seorang dokter, tapi juga penyuluh kesehatan, pemadam kebakaran, bahkan basarnas, saya tidak tahu seks bebas, karena saya ngga penah merasakan he...he...” keluh Pak Umar sambil nyengir. “Terus kalau sudah begini, kita pasang target ketuntasan belajar anak-anak kita berapa persen ya Pak?” Pak Umar balik bertanya.
“70% atau 80% aja Pak!” seru Pak Bakri
“Dasarnya apa Pak, terus itu berdasarkan kata siapa Pak?” tanya Pak Umar lagi.
“Kate siape kek! Situ yang sosialisasi, kok situ yang tanya.” jawab Pak Bakri agak kurang ajar dengan gaya sok Betawi karena memang dia pernah kerja sebagai “pengepool” besi bekas di daerah Pulogadung Jakarta Timur.
“Kate siape donk......?” tiba-tiba terdengar suara dari Ibu Beki guru BK yang ngakunya sebagai konselor yang memang biasa “nguping,” mencampuri urusan orang lain, dan hobi nyeletuk kalau ada orang ngomong.
“Iye, ye, kate siape ye.....? Jadi malu ike.” tutur Pak Umar yang memang punya bakat “ngebencong” pergi keluar ruang guru sambil “nenteng” buku absen.


Batas ketuntasan hasil belajar siswa ideal adalah 100%
Penentuan batas ketuntasan pada masing-masing mata pelajaran, serta masing-masing sekolah bisa saja berbeda
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah; kemampuan awal siswa, cakupan dan kompleksitas kompetensi, kebutuhan akan kompetensi dalam kehidupan nyata (kontekstual), serta potensi pendukung dan penghambat
Persentasi dari ketuntasan ideal dapat dihitung melalui;
1. berapa persen dari keseluruhan standar kompetensi,
2. berapa persen dari keseluruhan kompetensi dasar, atau
3. berapa persen dari keseluruhan hasil belajar siswa yang ditunjukkan dalam satu kompetensi dasar oleh seluruh indikator yang harus diperlihatkan oleh siswa


(Bersambung)
Oleh: Sugito Adi Warsito, S.Pd
Insruktur Penjas PPPPTK Penjas dan BK